Selasa, 22 November 2011

PERTUMBUHAN EKONOMI BUKAN PRO ORANG MISKIN



Oleh:
MS. Wahyudi S.

Secara singkat, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Berawal dari kemiskinan, maka bermunculan berbagai masalah sosial lainnya. Merebaknya gepeng di jalanan maupun yang berkeliaran di kampung-kampung salah satu indikatornya. Begitu pula PSK dan akan anak jalanan yang terkena razia, bisa dipastikan 90 % beralasan karena faktor ekonomi. Belum lagi anak putus sekolah yang selalu meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Lansia terlantar, anak terlantar, penyandang cacat terlantar, semakin melengkapi data penyandang masalah sosial yang berpangkal pada kemiskinan. Seperti halnya anak-anak yang masih dibawa umur sudah menjadi pengemis. Kesemua kondisi itu pasti sering kita jumpai di jalanan.
Pengentasan kemiskinan telah menjadi tujuan pembangunan yang fundamental sehingga seringkali menjadi sebuah alat ukur pemerintah untuk menilai efektivitas berbagai jenis program pembangunan. Sehingga pertumbuhan ekonomi dianggap oleh pemerintah dapat menjadi instrumen yang sangat berpengaruh dalam penurunan kemiskinan pendapatan (income poverty). Maka, untuk menekan angka kemiskinan, seringkali pemerintah mengambil langkah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan mengharapkan terjadinya efek menetes ke bawah (trickle down effect).
Perekonomian indonesia mengalami pertumbuhan ekonomi yang relatif bagus akhir-akhir ini. Berdasarkan data BPS, perekonomian Indonesia sepanjang 2010 mengalami pertumbuhan sebesar 6,1%, atau diatas di atas ekspektasi 5,8%. Angka pertumbuhan tersebut  sepintas menunjukkan  bahwa kinerja ekonomi Indonesia  semakin baik. Bahkan pada awal 2011 yang lalu, beberapa pihak asing menyebutnya sebagai calon kekuatan ekonomi baru dunia.
Namun, apabila dicermati ada indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi tersebut  adalah petumbuhan yang semu (bubble economics). Hal ini ditandai dengan masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia meski pertumbuhan PDB dikatakan bagus. Kemiskinan sudah sejak lama menjadi masalah bangsa Indonesia, dan hingga sekarang masih belum menunjukkan tanda-tanda menghilang. Angka statistik terus saja memberikan informasi masih banyaknya jumlah penduduk miskin, berdasarkan data BPS Jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2010 sebesar 31,02 juta orang (13,33 %). Hal ini mengindikasikan pertumbuhan ekonomi yang terjadi belum pro orang miskin atau dalam kata lain belum banyak memberikan manfaat bagi orang miskin.
Kondisi ini terjadi dikarenakan pada umumnya pemerintah menggunakan metode peningkatan pertumbuhan ekonomi untuk mengatasi kemiskinan. Maka dengan beranggapan akan terjadinya efek menetes ke bawah (trickle down effect), pemerintah akan memfokuskan kebijakan ekonominya pada kegiatan produksi yang dihasilkan di negara tersebut. Karenanya kebijakan negara diarahkan untuk menggenjot tingkat produksi secara keseluruhan melalui sektor-sektor yang mampu memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan PDB.
Adapun sektor yang memberikan kontribusi terbesar yaitu industri yang berkontribusi rata-rata 27%, sedangkan jika dilihat dari laju pertumbuhan tertinggi ada pada sektor pengangkutan dan telekomunikasi yaitu pertumbuhannya sebesar 13,5%. Hal inilah yang membuat pemerintah seringkali akan lebih berpihak pada kepentingan-kepentingan investor atau pemilik modal asing maupun lokal yang kebanyakan berada pada sektor tersebut dan merekalah kelompok yang paling dinamis dalam menggerakkan produksi suatu negara.
Padahal jika kita amati, mayoritas penduduk miskin bekerja pada sektor pertanian (sebagai petani) dan dapat diketahui bahwa penduduk indonesia yang bekerja di sektor pertanian adalah hampir 43%. Namun, justru perhatian pemerintah terhadap petani masih dianggap kurang. Misalnya saja, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 241/PMK.011/2010 tertanggal 22 Desember 2010 yang menetapkan bea masuk impor terhadap beras, beras wangi, dan beras ketan adalah Rp 0/kg. Kebijakan ini tentu akan merugikan petani domestik (asli indonesia).
Seharusnya sektor pertanian harus menjadi kunci pengentasan kemiskinan di Indonesia, untuk mengentaskan kemiskinan perlu ada penguatan  ke sektor pertanian. Hal ini dikarenakan selain menyerap tenaga kerja yang besar, Sektor ini merupakan potensi alam Indonesia. Maka, diperlukan peran dan kesungguhan pemerintah pada sektor pertanian serta peningkatan kreativitas masyarakat di sektor pertanian. Dengan begitu, komoditi pertanian di Indonesia mampu menjadi komoditas yang layak diperdagangkan bahkan sampai tingkat internasional.
Metode pertumbuhan ekonomi selama ini belum mampu mengurangi kemiskinan secara signifikan juga disebabkan dalam memandang kemiskinan yang harus dipecahkan, masih pada kemiskinan yang menimpa negara bukan kemiskinan yang menimpa individu. Sehingga, seringkali pemerintah mengedepankan indikator makro ekonomi dalam pencapaian pembangunan ekonomi bukan indikator kesejahteraan masyarakat. Maka, tidak mengherankan jika akhir-akhir ini terjadi tudingan kebohongan yang dilakukan pemerintah akibat mengklaim keberhasilan pembangunan ekonomi dikarenakan bagi sejumlah tokoh di Indonesia tidak sesuai dengan realita di masyarakat.
Kemiskinan yang harus dipecahkan adalah kemiskinan yang menimpa individu sehingga yang harus dilakukan adalah menjamin pemenuhan kebutuhan pokoknya serta mendorong mereka untuk memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya, dan jalan untuk mencapainya adalah dengan menciptakan distribusi ekonomi yang adil (pemerataan) di tengah-tengah masyarakat atau dengan kata lain merubah pola pertumbuhan ekonomi yang salama ini terjadi ke arah pertumbuhan ekonomi yang lebih berpihak kepada orang miskin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar