Selasa, 22 November 2011

EKONOMI DALAM DIMENSI KETAUHIDAN


Oleh :
MS. WAHYUDI S.

PENGANTAR
Ketauhidan merupakan pondasi awal setiap manusia dalam melakukan aktivitasnya. Dalam perkembangan Islam pada periode perkembangan di zaman Rasulullah, hal yang di tanamkan pada awal-awal Rasulullah berdakwah yaitu mengenai ketauhidan. Hal ini dapat diketahui bahwa ayat-ayat atau Surat yang turun pada awal kalinya yaitu lebih banyak mengatur mengenai ketauhidan dan mengenai muamalah lebih banyak diatur ketika nabi setelah berhijrah. Selain itu, segala perbuatan yang baik tidak akan memiliki nilai pahala bila orang yang melakukannya belum berada dalam dimensi ketauhidan.
Ketauhidan juga menjadi pondasi awal dalam ideologi Negara Indonesia yaitu sila pertama pancasila yang berbunyi “Ketuhanan yang Maha Esa”. Dengan demikian para pendahulu Bangsa Indonesia juga meletakkan pondasi Ketauhidan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di segala bidang.
Ketauhidan merupakan instrument pembentukan perilaku manusia dalam segala aktivitas dikarenakan keyakinan bahwa segala sesuatu pasti kembalinya pada Allah (Rabbul Alamin). Selama ini, manusia lebih banyak mengetahui bahwa ketauhidan hanya seputar pada masalah keesaan zat tuhan, sifat tuhan atau hanya sebatas pada keakidahan murni. Dengan kata lain hanya sebatas dalam hubungan vertikal dan seakan-akan tidak memiliki keterkaitan dengan pembentukan pola hidup dan aktifitas keseharian yang merupakan hubungan horizontal.
Dalam rangka keyakinan manusia akan eksistensi Allah, maka manusia dalam segala perbuatannya (segala aspek kehidupan) juga akan berpedoman pada apa yang telah diperintahkan Allah dan begitupula dengan bidang ekonomi yang juga sudah diatur oleh Allah melalui agama yang diturunkan kepada para nabi dan rasul yaitu Islam (Agama Ketauhidan).
Secara umum yang diatur dalam ekonomi adalah mengenai konsumsi, distribusi, dan produksi. Dengan demikian, diharapkan manusia mampu memenuhi kebutuhannya yang relatif tidak terbatas dengan menggunakan sumber daya yang terbatas. Ketika ekonomi tidak mampu dengan baik mengatur konsumsi, distribusi, dan produksi, maka akan menimbulkan masalah bagi kehidupan manusia. Masalah-masalah yang dapat ditimbulkan yaitu masalah kemiskinan, masalah keterbelakangan, masalah pengangguran, dan masalah kekurangan modal.
Ekonomi yang berkaitan erat dengan harta benda juga telah diatur oleh Islam. Semua yang ada di dunia ini termasuk harta benda adalah milik Allah SWT, karena Dia-lah yang menciptakannya. Untuk dapat memiliki dan memanfaatkan kekayaan, manusia haruslah mendapatkan ijin dari Allah SWT. Oleh karena itu, manusia harus mengikuti ketentuan Allah SWT mengenai sebab-sebab kepemilikan atas kekayaan, memanfaatkannya, mengembangkannya, dan mendistribusikan kekayaan di masyarakat. Dengan cara inilah seharusnya kegiatan ekonomi diorganisir. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT:
uqèd Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏJy_ §NèO #uqtGó$# n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y ;Nºuq»yJy 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ  
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 29)
* ûÓÍ_t6»tƒ tPyŠ#uä (#räè{ ö/ä3tGt^ƒÎ yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uŽõ°$#ur Ÿwur (#þqèùÎŽô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) Ÿw =Ïtä tûüÏùÎŽô£ßJø9$# ÇÌÊÈ  
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) masjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”. (QS. Al-A’raf: 31)
Ayat-ayat diatas telah menegaskan bahwa Allah telah memberikan batasan-batasan mengenai pola kehidupan manusia yang berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan manusia. Sehingga setiap tingkah laku manusia atau permasalahan ekonomi harus dikembalikan (berpedoman) dengan bagaimana Islam mengaturnya. Berikut ini akan diuraikan beberapa pandangan Islam mengenai masalah-masalah yang timbul dalam sebuah perekonomian, antara lain: masalah pengangguran, masalah kemiskinan, masalah kekurangan modal, dan masalah keterbelakangan. Permasalahan-permasalahan tersebut akan dijelaskan dengan memberikan makna akan hakikat hidup manusia sebagai hamba Allah dan pemegang amanah sebagai khalifah di bumi.
Adapun tujuan pembahasan dalam tulisan ini yaitu:
1.    Untuk mengkaji dan menjelaskan aktualisasi ketauhidan di bidang ekonomi.
2.    Untuk memaknai permasalahan-permasalahan ekonomi dalam pandangan Islam.

AKTUALISASI KETAUHIDAN DALAM EKONOMI
Islam bukanlah agama yang hanya mengatur hubungan manusia dengan tuhan yang bersifat ruhaniah dan spiritual belaka, tetapi lebih jauh dari itu Islam juga mengatur tata cara hidup bermasyarakat. Sobur (2008) mengungkapkan mengenai teologi muamalah dipahami sebagai rangkuman kepercayaan terhadap tuhan dan pertaliannya dengan alam, manusia, harus dijadikan sebagai energi penggerak  dalam menformulasikan system jaringan dengan pencipta, antara sesama manusia dan makhluk lainnya. Dengan demikian ketauhidan seseorang manusia akan kearah bahwa segala aktivitas kehidupan berujung dan bermuara kepada suatu keyakinan akan status diri manusia sebaga makhluk bertuhan yang pada gilirannya menjadi insane pengabdi kepada tuhan semesta alam.
Filsafat ekonomi dalam Islam dapat diambil dalam hadits yang diriwayatkan dari Anas bin Malik, bahwa ia menyampaikan sebuah hadits dari Rasulullah SAW:
            “Sesungguhnya orang kafir, bila mengerjakan suatu kebaikan, diberikan sebuah kelezatan di dunia.  Sedangkan orang yang beriman, maka Allah manyimpan untuknya kebaikan-kebaikannya di akhirat dan memberi rizki kepadanya di dunia sesuai dengan ketaatannya kepada Allah.”
Hadits diatas mengisyaratkan bahwa segala perbuatan yang baik tidak akan memiliki nilai pahala (balasan akhirat) bila orang yang melakukannya belum berada dalam dimensi ketauhidan.
Dari kajian para ulama dapat dirumuskan dasar-dasar filosofis perekonomian, yaitu:
1.   Tauhid, yaitu menyatakan dasar-dasar hukum Allah untuk selanjutnya mengatur model pembangunan ekonomi yang berdasarkan Islam. Tauhid mengandung implikasi bahwa alam semesta secara sadar dibentuk dan diciptakan oleh Allah Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa, karena itu tidak mungkin jagad raya ini muncul secara kebetulan. Hal ini terdapat dalam Q.S .Ali Imran:191 dan Q.S. Shaad:27.
   “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (QS. 3:191)
Berdasarkan ayat diatas, dapat diambil hakikat manusia dalam melakukan segala aktifitas tidak terkecuali ekonomi. Segala perbuatan manusia dan juga aktifitas perekonomian manusia dalam memanfaatkan apa yang telah diciptakan (kekayaan langit dan bumi) tentulah dalam rangka mengingat Allah. Oleh karena itu, sebagai wujud untuk mendekatkan diri pada Allah maka manusia harus memanfaatkan kekayaan langit dan bumi dengan baik.
Dalam konteks ajaran Islam, manusia dituntut untuk menjaga serta memelihara kelestariannya (alam), karena jika tidak demikian akan berakibat terjadinya kerusakan baik terhadap struktur alam maupun kepada manusia itu sendiri. Manusia tidaklah patut untuk melakukan kerusakan pada alam apalagi untuk memusnahkannya, karena manusia dan alam semesta adalah sama-sama makhluk Allah yang kesemuannya itu bersujud dan mengabdi kepada-NYA.
Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan ekonomi manusia tidaklah sepantasnya melakukan eksploitasi alam dengan sebesar-besarnya untuk memperbesar keuntungan pribadi semata. Akan tetapi, harus memperhatikan keberlanjutan dari ekosistem alam karena didasari oleh keyakinan bahwa segala sesuatu saling berkaitan, manusia, hewan ataupun alam sama-sama memperhambakan diri dan sujud kepada Rabb semesta alam.
2.   Khilafah, (fungsi manusia sebagai khalifah Allah dimuka bumi). Ajaran ini menetapkan kedudukan dan peranan manusia, baik sebagai individu maupun anggota masyarakat, sebagai pengemban jabatan khilafah itu. Disini kelebihan konsep ekonomi Islam dari konsep-konsep lainnya, dengan mendudukkan peranan manusia pada tempat yang tinggi dan terhormat, tetapi sangat bertanggung jawab. Manusia adalah wakil Allah Allah di muka bumi untuk memakmurkan bumi dan bertangung jawab kepada Allah tentang pengelolaan sumberdaya yang diamanahkan kepadanya. Hal ini terdapat dalam Q.S . Al-Baqarah:30, Al-An’am:165, Faathir:39, Shad:28, dan al-Hadid:7. 
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui".”(QS. 2:30).
“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (al-An’am:165)
“Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang-orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” (Shaad:28)
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.”( Al-Hadid:7)
Sebagai khalifah Allah, manusia bertanggung jawab kepada-Nya, dan mereka akan diberi pahala atau siksa di hari akhirat kelak berdasarkan apakah kehidupan mereka di dunia ini, sesuai atau bertentangan dengan petunjuk yang telah diberikan oleh Allah SWT. Khalifah pada dasarnya mengandung makna persatuan fundamental dan persaudaraan umat manusia.
Kepemimpinan manusia dapat menimbulkan sifat-sifat terpuji dan tercela, perbuatan tercela akan terjadi jika tidak diilhami dengan dasar aqidah atau tidak dilandasi sifat ketuhanan. Dengan kata lain, khalifah bila tidak diilhami dengan perasaan bertauhid sudah barang tentu berpeluang untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan.
3.   Keadilan, yaitu pembangunan ekonomi yang merata. Konsep persaudaraan umat manusia hanya akan berjalan jika dibarengi dengan konsep keadilan.  Oleh karena itu pula, menegakkan keadilan dinyatakan oleh Allah sebagai salah satu tujuan utama yang akan dicapai oleh para rasul Allah(al-Hadid:25) dan al-Qur’an meletakkan keadilan paling dekat kepada takwa (al-Maidah:8).

“Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al-Hadid:25)
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.(Al-Maidah:8).
Sikap bertauhid harus dimiliki dan dihayati dengan baik. Hal ini akan menimbulkan kesadaran seseorang akan tugas dan kewajiban sebagai hamba Allah, termasuk kewajiban dan tugas memelihara persaudaraan sesama manusia. Islam telah menggariskan bahwa umat Islam agar berada pada satu kesatuan social dan membina peradaban untuk menjadi contoh seluruh umat manusia. Kehadiran Islam adalah sebagai agama rahmat lil ‘alamin yang membawa umat manusia pada kedamaian, ketentraman, dan kesejahteraan, baik secara individual maupun secara kolektif dalam koridor kehidupan social, berbangsa dan bernegara, bahkan dunia. Untuk menuju kearah itu, Islam mengajarkan manusia untuk berpegang pada prinsip-prinsip keadilan dan persaudaraan sebagai aktualisasi ketauhidan.
4.   Tazkiyah (penyucian dan pengembangan). Tugas yang dibebankan kepundak para rasul Allah adalah melakukan tazkiyah (penyucian) manusia dalam segala hubungan dan pergaulannya dengan Allah, dengan manusia sesamanya, dengan lingkungan alamnya, dan dengan masyarakat serta bangsa dan negaranya.
Berdasarkan dasar-dasar filosofis di atas dapat diperjelas bahwa prinsip ekonomi menurut Islam adalah: Pertama, Ekonomi dalam Islam bersifat komprehensif dan mengandung unsur spiritual, moral dan material. Perekonomian merupakan aktivitas yang berorientasi pada tujuan dan nilai. Aspek material, moral, ekonomi, sosial spiritual dan fiskal tidak dapat dipisahkan. Kebahagian yang ingin dicapai tidak hanya kebahagian dan kesejahteraan material di dunia, tetapi juga di akhirat.
Kedua, Perekonomian adalah aktivitas multidimensional sehingga semua usaha harus diserahkan pada keseimbangan berbagai faktor dan tidak menimbulkan ketimpangan. Ketiga, Penekanan utama dalam perekonomian menurut Islam, terletak  pada: a) Pemanfaatan sumberdaya yang telah diberikan Allah kepada ummat manusia  dan lingkungannya semaksimal mungkin; b) Pemanfaatan sumberdaya tersebut melalui pembagian, peningkatannya secara merata berdasarkan prinsip keadilan dan kebenaran. Islam menganjurkan sikap syukur dan adil dan mengutuk sikap kufur dan zalim.

ISU-ISU EKONOMI DALAM PANDANGAN ISLAM
Pandangan Islam terhadap Pengangguran
Islam mewajibkan setiap individu yang mampu untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan sehingga akan mendukung kegiatan ekonomi produktif dalam masyarakat dan negara. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT sebagai berikut:
uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# Zwqä9sŒ (#qà±øB$$sù Îû $pkÈ:Ï.$uZtB (#qè=ä.ur `ÏB ¾ÏmÏ%øÍh ( Ïmøs9Î)ur âqà±Y9$# ÇÊÎÈ  
“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS. Al-Mulk: 15)
Surat diatas menjelaskan bahwa Allah memerintahkan agar manusia berjalan ke segala penjuru untuk mencari rizki yang akan diberikan oleh-Nya, maksudnya yaitu melakukan usaha apa saja dan dimana saja sesuai dengan ilmu dan ketrampilan yang dimiliki.
Banyak hadist yang mendorong manusia untuk memperoleh kekayaan. Misalnya, Nabi saw. pernah mencium tangan Sa’ad bin Mu’adz ra, tatkala beliau melihat bekas-bekas kerja pada tangan Mu’adz, beliau berkata : “(ini adalah) dua tangan yang dicintai Allah Ta’ala”. Nabi saw. bersabda : “Tidak seorangpun di antara kamu, makan suatu makanan, lebih baik daripada memakan dari hasil keringatnya sendiri.”
Masalah pengangguran timbul karena terjadinya ketimpangan antara jumlah angkatan kerja dan kesempatan kerja yang tersedia. Untuk mengatasi masalah ini upaya yang dilakukan pemerintah biasanya melakukan pelatihan bagi tenaga kerja sehingga tenaga kerja memiliki keahlian sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia, pembukaan investasi baru, terutama yang bersifat padat karya, pemberian informasi yang cepat mengenai lapangan kerja
Dalam Islam, tidaklah diperkenankan seseorang itu dalam kondisi pengangguran. Maka, Islam sangatlah menganjurkan manusia untuk selalu senantiasa berusaha. Senada dengan hadits sebelumnya, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Usaha yang paling baik adalah hasil karya seseorang dengan tangannya jika ia jujur (bermaksud baik)” (HR. Ahmad) dan dihadits lain juga disebutkan ketika Rasulullah ditanya, “Usaha apa yang paling baik?” Beliau menjawab “Usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan jual beli” (HR. Ahmad).
Hadits diatas telah menyiratkan bahwa seorang muslim harus mampu menciptakan sesuatu dan dapat memanfaatkan peluang dan kemampuan yang dimiliki, atau dengan kata lain hendaknya melakukan wirausaha dengan menciptakan sesuatu berdasarkan kemampuan yang dimiliki, berkarya dengan inovatif, memanfaatkan peluang yang ada agar dapat menjadi manusia yang bermanfaat. Dengan demikian, ketika setiap individu mampu melakukan hal tersebut, maka angka pengangguran akan dapat berkurang atau menjadi minim.
Selain itu, ketika sistem ekonomi Islam yang diterapkan oleh negara, maka PHK akan sangat kecil sekali kemungkinannya bakal terjadi. Sebab, prinsip ekonomi Islam yang dianut adalah penyerapan pasar domestik yang sangat didukung oleh negara dalam rangka memenuhi kebutuhan individu masyarakatnya.
Pandangan Islam terhadap Kemiskinan
Secara singkat, kemiskinan dapat didefinisikan sebagai suatu standar tingkat hidup yang rendah, yaitu adanya suatu tingkat kekurangan materi pada sejumlah atau segolongan orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Standar kehidupan yang rendah ini secara langsung tampak pengaruhnya terhadap tingkat keadaan kesehatan, kehidupan moral, dan rasa harga diri dari mereka yang tergolong sebagai orang miskin.
Berawal dari kemiskinan, maka bermunculan berbagai masalah sosial lainnya. Merebaknya gepeng di jalanan maupun yang berkeliaran di kampung-kampung salah satu indikatornya. Begitu pula PSK dan akan anak jalanan yang terkena razia, bisa dipastikan 90 % beralasan karena faktor ekonomi. Belum lagi anak putus sekolah yang selalu meningkat jumlahnya dari tahun ke tahun. Lansia terlantar, anak terlantar, penyandang cacat terlantar, semakin melengkapi data penyandang masalah sosial yang berpangkal pada kemiskinan. Seperti halnya anak-anak yang masih dibawa umur sudah menjadi pengemis. Kesemua kondisi itu pasti sering kita jumpai di jalanan.
Ilmu Ekonomi Islam lahir dari integralitas Islam  atau bisa dikatakan Ilmu ekonomi yang berujung pada bagaimana menciptakan kesejahteraan manusia, lahir akibat banyak faktor tidak hanya faktor ekonomi tetapi juga moral, intelektual, sosial, demografi dan politik. Semua faktor tersebut berpadu menjadi satu sehingga tak satupun dari faktor ini mampu membuat kontribusi optimum tanpa dukungan dari yang lain. Namum demikian, prinsip keadilan menempati landasan dalam kerangka ini. Tanpa keadilan, sebuah masyarakat hanya akan membangun sebuah perwujudan kerangka rapuh yang berjalan menuju kehancuran atau kemunduran masyarakat itu sendiri.
Perhatian kepada keadilan adalah konsekuensi logis dari peranan keadilan itu sendiri yang sangat penting dalam pandangan Islam. Dengan prinsip keadilan maka seluruh masyarakat memiliki hak yang sama dalam segala hal, termasuk dalam memandang kemiskinan atau ketimpangan ekonomi yang terjadi pada masyarakat.
Berkaitan dengan kemiskinan ada yang memiliki pandangan bahwa kemiskinan adalah sarana pencucian diri, dan dicintai nabi. Pemahaman ini berpedoman pada hadits berikut:
Nabi SAW bersabda: “Saya berdiri di pintu surga, kebanyakan penduduknya adalah orang miskin, sedangkan pemilik kekayaan masih tertahan kecuali ahli neraka diperintah kembali ke neraka dan saya berdiri di pintu neraka, ternyata kebanyakan adalah wanita”. (HR. Bukhori)
Said alhudriy berkata: “Cintailah orang miskin, saya mendengar nabi berdoa, Ya Allah, jadikanlah saya hidup dalam kemiskinan, matikanlah dalam kemiskinan dan kumpulkanlah saya dalam golongan orang miskin”. (HR. Ibnu Majah)
Hadits tersebut sering dipahami, bahwa Islam mengajarkan agar umatnya lebih baik menjadi orang miskin. Padahal hadits tersebut diungkapkan oleh Nabi karena nabi melihat orang kaya yang zalim dan tidak mau membayar zakat. Itulah sebabnya nabi berdoa agar tidak dijadikan dari golongan mereka. Lebih baik bersama dengan orang miskin yang bertaqwa (Nurdiana, 2008). Oleh karena itu, hadits ini tidak berarti menganjurkan kemiskinan. Hal ini terbukti dengan kewajiban zakat bagi musli yang mampu (memenuhi syarat), Haji juga bagi orang yang mampu. Jika dianjurkan menjadi miskin maka siapa yang akan menjadi muzakki? Siapa yang akan berangkat Haji?
Al-Subki dalam Nurdiana (2008) mengatakan bahwa yang dimaksud ahyini miskinan (jadikanlah saya hidup dalam kemiskinan) adalah hidup dengan hati yang sakinah atau tenang, miskinan tidak diartikan miskin dalam artian bentuk dari fakir. Memang semasa hidup, nabi bukanlah orang yang bergelimang harta tetapi juga bukan orang fakir, beliau hidup dalam keadaan berkecukupan untuk diri dan keluarganya.
Al-Baihaqi dalam Nurdiana (2008) mengatakan bahwa yang dimaksud waamitni miskinan (matikanlah dalam kemiskinan) adalah nabi meminta mati tidak dalam keadaan sombong dan congkak, karena al-maskanah diambil dari kata al-sukun yang artinya rendah hati.
Jika hadits tersebut diatas dipahami sebagai hadits yang mendorong pada kemiskinan, maka hadits tersebut akan bertentangan dengan hadits lain yang menjelaskan bahwa nabi memohon agar dijauhkan dari kemiskinan dan kefakiran. Beliau meminta diberi kecukupan:
Rasulullah SAW bersabda: “Ya Allah yang menyingsikan pagi dan menjadikan malam untuk istirahat, dan menjadikan matahari dan rembulan untuk perhitungan, jagalah saya dari hutang, kayakanlah dari kefakiran, berilah pendengaran dan penglihatan yang menyenangkan, berilah kekuatan untuk tetap di jalan-MU”. (HR. Malik)
Dari Aisyah menceritakan bahwa Nabi SAW berdoa dalam sholat: “Ya Allah aku berlindung padaMU dari siksa kubur, fitnah dajjal, fitnah kehidupan dan kematian, dosa, hutang yang tidak dapat dibayar”. Kemudian Aisyah bertanya: “Kenapa berlindung dari banyak hutang yang tidak dapat dibayar?” Nabi menjawab: “karena seseorang yang berhutang akan banyak bohong dan tidak menepati janji”. (HR. Muslim, Matan lain: Bukhori, Nasa’i, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad)
 Sa’ad berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertaqwa, yang kaya serta tersembunyi (tidak diketahui orang lain)”. (HR. Muslim, Matan lain: Ahmad).
Hadits-hadits tersebut dapat dikompromikan bahwa pada dasarnya umat Islam harus kuat secara ekonomi dan diberkahi. Seseorang akan mendapat berkah jika hartanya dibelanjakan di jalan Allah SWT dan akan menjadi berlipat-lipat. Sebaliknya nabi menghendaki menjadi golongan yang miskin karena beliau melihat orang kaya tetapi tidak membelanjakan hartanya di jalan Allah SWT, congkak, sombong dan pelit. Karena itu di neraka banyak dilihat orang-orang kaya tersebut.
Apabila terdapat umat (masyarakat) yang mengalami kemiskinan, maka Islam memandang untuk mengatasinya yaitu agar masyarakat miskin tetap dapat memenuhi kebutuhannya yaitu dengan kewajiban berzakat bagi orang yang mampu (kaya), Shodaqoh dan Infaq. Dengan demikian, orang miskin akan dapat memenuhi kebutuhan dasarnya.
Hal ini dikarenakan Islam dimulai dari pandangan memuaskan pemenuhan kebutuhan asasi setiap individu untuk kemudian menyediakan dan mendorong mereka memenuhi kebutuhan yang lebih baik lagi. Negara dalam ekonomi Islam bertanggung jawab memelihara kebutuhan dasar masing-masing individu warga negaranya, baik orang Islam maupun non Islam.
Pandangan Islam terhadap Kekurangan Modal
Kekurangan modal adalah suatu ciri penting setiap Negara yang memulai proses pembangunan. Kekurangan modal disebabkan tingkat pendapatan masyarakat yang rendah yang menyebabkan tabungan dan tingkat pembentukan modal sedikit. Cara mengatasi hal tersebut yaitu melalui peningkatan kualitas SDM atau peningkatan investasi menjadi lebih produktif.
Hal ini juga sesuai dengan pandangan Islam yaitu melarang konsumsi yang berlebihan dan penimbunan kekayaan, karenanya dana perlu diorganisasi dengan cara yang baik agar terus berkembang dan berkelanjutan. Aset tidak boleh habis dikonsumsi tetapi harus ditabung atau diinvestasikan. Jika aset terjual tanpa diinvestasikan maka tidak akan mendapat keberkahan, sebaliknya jika diinvestasikan yang lebih baik maka akan diberi keberkahan dalam usahanya Nurdiana (2008).
Rasulullah bersabda: “Barang siapa menjual rumah dan tidak menjadikan harganya yang serupa maka tidak akan mendapat berkah”. (HR. Ibnu Majah).
Metwally dalam Nurdiana (2008), menurut pandangan sejumlah tokoh agama, seorang muslim yang menginvestasikan tabungannya tidak akan terkena zakat, mereka hanya berkewajiban membayar zakat atas hasil yang diperoleh dari investasinya. Sebaliknya jika memegang harta kekayaan dalam bentuk cash atau memegang tabungan dalam bentuk aset tidak produktif semisal deposito, pinjaman, permata melebihi nisab maka akan dikenakan zakat. Oleh karenanya penabung muslim akan terdorong mengarahkan tabungannya untuk investasi.
Hal ini mengisyaratkan bahwa Islam menganjurkan umat Islam untuk mengalokasikan kekayaannya untuk kegiatan yang produktif sehingga akan menimbulkan peningkatan produktivitas dan dapat berdampak pada pembukaan kesempatan kerja baru, kemudian angka pengangguran berkurang dan diikuti peningkatan pendapatan perkapita masyarakat, yang pada akhirnya kesejahteraan masyarakat juga akan meningkat.
Pandangan Islam terhadap Masalah Keterbelakangan
Masalah ekonomi yang dihadapi adalah rendahnya tingkat pendapatan dan pemerataannya, rendahnya pelayanan kesehatan, kurang terpeliharanya fasilitas umum, rendahnya tingkat disiplin masyarakat, rendahnya tingkat keterampilan, rendahnya tingkat pendidikan formal, kurangnya modal, produktivitas kerja, lemahnya manajemen usaha. Untuk mengatasi masalah ini Islam berpandangan diperlukan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
¼çms9 ×M»t7Ée)yèãB .`ÏiB Èû÷üt/ Ïm÷ƒytƒ ô`ÏBur ¾ÏmÏÿù=yz ¼çmtRqÝàxÿøts ô`ÏB ̍øBr& «!$# 3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ  
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. (QS. Ar-Ra’du: 11)
Ayat diatas menjelaskan bahwa bagi tiap-tiap manusia ada beberapa Malaikat yang tetap menjaganya secara bergiliran dan ada pula beberapa Malaikat yang mencatat amalan-amalannya. dan yang dikehendaki dalam ayat ini ialah Malaikat yang menjaga secara bergiliran itu, disebut Malaikat Hafazhah. Selain itu juga, Allah tidak akan merubah Keadaan mereka, selama mereka tidak merubah sebab-sebab kemunduran mereka. Dengan demikian, ayat ini mengisyaratkan untuk mengatasi permasalahan diatas yaitu tergantung manusia itu sendiri, sehingga untuk merubahnya diperlukan peningkatan kualitas manusia itu sendiri.
Bagaimanakah pribadi seorang muslim yang berkualitas agar dapat terhindar atau mengatasi masalah keterbelakangan yang terjadi. Hal ini dijelaskan dalam hadits sebagai berikut:
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai daripada mukmin yang lemah dan dalam segala hal selalu mengerjakan yang terbaik, raihlah apa yang dapat memberi manfaat bagimu, dan mintalah pertolongan pada Allah, jangan lemah! Kalau engkau tertimpa sesuatu maka jangan berkata: “kalau aku berbuat begini, pasti begini dan begitu,” tetapi katakanlah: “Allah SWT telah menentukan dan menghendaki aku”. Berandai-andai itu adalah perbuatan setan. (HR. Muslim, Matan lain: Ibnu Majah, Ahmad)
Hadits diatas mengandung pengertian bahwa seorang mukmin dianjurkan menjadi pribadi yang berkualitas dengan cara: Pertama, Memperkuat keimanan. Hadits tersebut telah jelas disebutkan kata mukmin (orang yang beriman), Keimanan seseorang akan membawa pada kemuliaan baik di dunia maupun akhirat. Jika kualitas keimanannya kuat dan selalu diikuti dengan amal saleh maka akan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT:
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌôfuZs9ur Nèdtô_r& Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ÇÒÐÈ  
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. An-Nahl: 97)
Kedua, Menggali kemampuan. Seorang mukmin diwajibkan bekerja dengan baik agar menjadi kategori orang yang kuat dalam berbagai hal, baik dalam keimanan, kejiwaan, keilmuan. Ketika sudah memiliki kekuatan tersebut maka mereka akan menjadi pribadi yang berkualitas. Orang yang berkualitas akan menghasilkan prestasi-prestasi dalam hidupnya. Prestasi tersebut dapat dilihat dari kualitas kerja yang dilakukan dengan baik.
Ketiga, Memperbanyak perbuatan yang bermanfaat. Dalam bekerja seorang muslim dianjurkan meraih prestasi yang terbaik dan bermanfaat, tidak boleh berandai-andai, dan tidak boleh hanya merencanakan tetapi tidak melaksanakannya.
 Dengan demikian, ketika setiap pribadi menjadi pribadi yang unggul dan berkualitas maka akan berdampak pada kemajuan pada seluruh aspek kehidupan.


PENUTUP
Kesimpulan
Allah melalui wahyu yang diturunkan telah mengatur segala aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu, sebagai wujud ketauhidan manusia terhadap Allah maka harus mentaati segala apa yang diperintahkan. Esensi dan substansi ketauhidan merupakan keterpaduan antara keesaan akidah, keesaan ibadah dan keesaan muamalah. Dalam artian bahwa Allah, manusia, dan alam semesta sebagai kesatuan konsepsi ketauhidan. Sebagai konsekuensinya segala aktifitas kehidupan akan bermuara kepada suatu keyakinan akan status manusia sebaga makhluk bertuhan sehingga akan mengabdikan diri kepada Allah SWT.
Ekonomi merupakan ilmu yang mempelajari aktivitas individu maupun kelompok masyarakat dalam rangka mengorganisir faktor produksi, distribusi dan pemanfaatan barang dan jasa yang dihasilkan harus tunduk dalam hukum-hukum islam sebagai wujud ketaatan manusia tehadap tuhannya. Hal ini senada dengan firman Allah sebagai berikut:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=äz÷Š$# Îû ÉOù=Åb¡9$# Zp©ù!$Ÿ2 Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÅVºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNà6s9 Arßtã ×ûüÎ7B ÇËÉÑÈ  
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu”. (QS. Al-Baqarah: 208).
Ayat diatas merupakan perintah bagi orang-orang yang beriman agar memeluk Islam secara utuh, bukan setengah-setengah. Begitupula dengan Ekonomi yang merupakan ilmu yang menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebagai pedoman, maka Ekonomi harus dipahami secara utuh dan tidaklah mencampur-adukkan dengan hal-hal yang sudah jelas dilarang oleh Agama Islam (langkah-langkah syaitan).


Saran
Seluruh komponen masyarakat seharusnya memahami ilmu ekonomi dengan menghubungkan aspek ajaran Islam yang lebih pokok, seperti akidah, syariah, dan akhlak. Ketiga pilar ini harus menjadi ruh, sehingga tercipta sebuah disiplin ilmiah yang bermakna, tidak saja secara intelektual, tapi juga secara batin dan nurani.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Hadits
Azhari Akmal Tarigan. 2005. Wajah Baru Ekonomi Islam (Menyongsong Muktamar I IAEI Medan, 17-18 September 05).
A. Kadir Sobur. 2008. Aplikasi Teologi dalam Bermuamalat, dalam Innovatio Vol. VII, No. 14, Juli-Desember 2008.
Ikhwan A. Basri. 2005. Perkembangan Ekonomi Islam.
Ilfi Nurdiana. 2008. Hadis-Hadis Ekonomi. Malang: UIN-Malang Press
Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi. 2008. Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa.
Muhammad Baqir Ash Shadr. 2008. Buku Induk Ekonomi Islam-Iqtishaduna. Jakarta: Zahra.
Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) Universitas Islam Indonesia. 2011. Ekonomi Islam. Jakarta: Rajawali Press.
Rahmat, Implementasi Nilai-Nilai Islam dalam Pendidikan Lingkungan Hidup.
Unname, Ekonomi Pembangunan dalam Al-Qur’an Dan Hadist.

1 komentar:

  1. Lucky Club - Lucky Club Casino site - LiveScore
    Get luckyclub the best news and updates on Lucky Club.live with LiveScore for your LiveScore Betting. Bet now with the best odds. Best Live Scores. Live Scores.

    BalasHapus