Selasa, 22 November 2011

PEMBEBASAN BEA MASUK IMPOR BERAS: INKONSISTENSI PEMERINTAH INDONESIA UNTUK MENSEJAHTERAKAN PETANI


 Oleh:
MS. Wahyudi S.

Abstract


The purpose of this writing is to analyse hit rice import policy and import admission charge release rice  (Finance Minister regulation No. 241 / PMK.011 / 2010)  one that done by Indonesia government. Indonesian paddy production developing of year goes to year experience step-up, and terminologicals analisis requirement with assuming that average consumes perkapita's rice which is 149 kg / capita / years or 0,149 tons / capita / years, therefore its reality Indonesia experience surplus production. Thus, rice import policy and import admission charge release rice who can down rice price will disadvantage despite farmer party advantages consumer.

Key Words: Rice Import, Farmer, and Indonesia


PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang sangat luas yang jumlah penduduknya mencapai 220 juta jiwa. Luas lahan untuk pertanian sekitar 107 juta hektar dari total luas daratan Indonesia sekitar 192 juta hektar,  tidak termasuk Maluku dan Papua, sekitar 43,19 juta hektar telah digunakan untuk lahan sawah, perkebunan, pekarangan, tambak dan ladang, sekitar 2,4 juta hektar untuk padang rumput, sekitar 8,9 juta hektar untuk tanaman kayu-kayuan, dan lahan yang tidak diusahakan seluas 10,3 juta ha. Hal ini tentu menandakan bahwa Indonesia sangat memiliki potensi yang kuat di sektor pertanian.
Indonesia sebagai salah satu negara yang berkomitmen kuat untuk memantapkan ketahanan pangan dan menurunkan kemiskinan telah melakukan berbagai upaya guna mencapai target tersebut, antara lain; dengan menetapkan pembangunan ketahanan pangan sebagai salah satu program utama pembangunan  nasional dan menjadikan isu utama program utama jangka lima tahun 2009 - 2014. Dengan demikian, pertanian juga akan menjadi prioritas Pemerintah Indonesia.
Pembangunan pertanian tidak dapat terlaksana hanya oleh para petani sendiri. Pertanian tidak dapat berkembang tanpa adanya perkembangan yang sesuai pada bidang-bidang kehidupan lainnya pada masyarakat dimana pertanian itu dilaksanakan. Oleh karena itu diperlukan campur tangan pembuat kebijakan (pemerintah) untuk meningkatkan produktivitas pertanian.
Di Indonesia, pertanian seringkali dijadikan komoditas politik oleh para politikus dalam setiap janjinya menjelang pemilu. Mereka menyadari bahwa mayoritas penduduk bekerja di sektor pertanian, sehingga untuk mendapatkan suara yang banyak untuk memilihnya harus memberikan janji untuk mengembangkan para petani dan pertanian di daerah tersebut.
Politikus sangat memahami situasi yang ada sehingga bila mereka dalam janji politiknya tidak mengedapankan pertanian maka resiko yang dia tanggung sudah diperhitungkan. Adapun isu-isu yang sering dijadikan strategi dalam kampanye para politikus yaitu mengenai ketahanan pangan, pengembangan agrobisnis, kesejahteraan petani, dan sebagainya.
Perlu disadari bahwa dunia politik penuh dengan intrik, sehingga hal-hal demikian adalah wajar. Namun sebenarnya janji-janji tersebut dapat dijadikan sebagai parameter kredibilitas para politisi tersebut. Rakyat akan memperhitungkan kembali pada pemilu berikutnya bilamana janji-janji tersebut tidak terealisasikan.
Apabila politikus tersebut berada pada level eksekutif, maka janji-janji tersebut diwujudkan dalam visi, misi, strategi, arah kebijakan, agenda dan program yang tertuang dalam RPJMN. Bagaimanakah konsistensi pemerintah Indonesia dalam mewujudkan pembangunan pertanian dan kesejahteraan petani? Hal ini tentu dapat dilihat dari kebijakan yang telah dilakukan pemerintah mengenai sektor pertanian.
Pada akhir 2010, salah satu kebijakan yang diambil oleh pemerintah berkaitan dengan sektor pertanian dan ketahanan pangan adalah impor beras. Kebijakan nasional dalam mengimpor beras merupakan salah satu kebijakan yang selalu menimbulkan kontroversi terutama pada kelompok masyarakat petani dan pengambil kebijakan ekonomi nasional maupun regional.
Pemerintah dengan alasan mengamankan stok beras nasional, maka melalui Badan Urusan Logistik (BULOG) akhir tahun 2010 telah mengimpor beras sebanyak 1,33 juta ton. Kebijakan ini dipandang oleh Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) sebagai kebijakan yang tidak pro petani. Maka dari itu, tulisan ini bertujuan menganalisis mengenai kebijakan impor beras yang dilakukan Pemerintah Indonesia apakah akan menguntungkan petani ataukah sebaliknya.

PERKEMBANGAN PRODUKSI BERAS DI INDONESIA
Padi merupakan bahan pangan yang paling penting dan fital peranannya bagi perekonomian, sosial dan politik. Padi atau dalam hal ini beras merupakan bahan makan utama masyarakat Indonesia, sehingga persediaan padi sangat dibutuhkan di Indonesia untuk memenuhi permintaan dari masyarakat. Adapun produksi padi di Indonesia tahun 2006 – 2009 dan prediksi sampai pada tahun 2015 dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 1. Produksi Padi Tahun 2006 – 2015 di Indonesia (Ton)
Sumber: BPS (diolah)
* Angka Prediksi/Forecast

Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa produksi padi di Indonesia mengalami kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun yaitu laju pertumbuhan produksi padi sekitar 4%. Pada tahun 2006 produksi padi di Indonesia sebesar 54.455.000 ton menjadi 62.561.000 ton pada tahun 2009, bahkan pada tahun 2015 diprediksikan mencapai 79.240.000 ton.
Nilai produksi padi ini tentu akan menjadi persediaan yang berasal dari dalam negeri (produksi domestik) untuk kebutuhan masyarakat Indonesia.  Kecenderungan peningkatan produksi padi dari tahun ke tahun mengindikasikan bahwa persediaan stok padi di Indonesia memiliki potensi mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, hal ini menunjukkan produktivitas petani selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Adapun produksi padi di masing-masing propinsi dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 1. Produksi Padi Menurut Propinsi (ribu ton), 2006-2009
No
Propinsi
2006
2007
2008
2009
1
Nanggroe Aceh Darusslam
1.351
1.533
1.402
1.540
2
Sumatera Utara
3.008
3.266
3.341
3.470
3
Sumatera Barat
1.889
1.938
1.966
2.060
4
R i a u
429
492
494
576
5
J a m b i
545
587
582
641
6
Sumatra Selatan
2.456
2.753
2.971
3.064
7
Bengkulu
378
470
485
481
8
Lampung
2.130
2.308
2.341
2.548
9
Kep Bangka Belitung
16
24
15
20
10
Kep Riau
-
-
-
-
11
DKI Jakarta
6
8
8
9
12
Jawa Barat
9.419
9.914
10.111
10.621
13
Jawa Tengah
8.729
8.617
9.136
9.326
14
DI Yogyakarta
708
709
798
817
15
Jawa Timur
9.347
9.402
10.475
10.839
16
Banten
1.751
1.816
1.818
1.857
17
B a l i
841
840
840
846
18
Kalimantan Barat
1.108
1.225
1.321
1.267
19
Kalimantan Tengah
492
562
523
551
20
Kalimantan Selatan
1.637
1.954
1.954
2.012
21
Kalimantan Timur
541
567
586
587
22
Sulawesi Utara
455
495
520
547
23
Sulawesi Tengah
193
200
985
1.004
24
Sulawesi Selatan
740
858
4.083
4.139
25
Sulawesi Tenggara
3.366
3.635
405
418
26
Gorontalo
349
423
235
242
27
Sulawesi Barat
302
313
343
346
28
NTB
1.553
1.526
1.751
1.862
29
NTT
512
506
578
596
30
Maluku
50
57
76
77
31
Maluku Utara
59
49
52
47
32
Papua Barat
27
28
40
43
33
Papua
68
82
86
108

Indonesia
54.455
57.157
60.321
62.561
Sumber: BPS

Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa masing-masing propinsi mampu produksi padi berbeda-beda. Hal ini mengharuskan pemerintah untuk dapat mengatur distribusi beras secara tepat. Agar daerah yang minim produksi padi dapat terpenuhi kebutuhan berasnya dari propinsi lain. Produksi padi terbesar ada di Jawa Timur yaitu sebesar 10.839.000 ton pada tahun 2009, sementara yang  terkecil berada di Kepulauan Riau yaitu tidak memiliki produksi padi.

ANALISIS KEBUTUHAN BERAS DI INDONESIA
Analisis kebutuhan beras penduduk Indonesia menggunakan asumsi BPS Tahun 2007 bahwa rata-rata konsumsi beras perkapita yaitu 149 kg/kapita/tahun atau 0,149 ton/kapita/tahun, maka dapat diketahui kebutuhan/konsumsi beras di Indonesia sebagai berikut:
Tabel 2. Perkiraan Konsumsi Beras Penduduk Indonesia
Tahun
Jumlah Penduduk
Konsumsi Beras (ton)
2006
222.747.000
33.189.303
2007
225.642.000
33.620.658
2008
228.523.000
34.049.927
2009
231.370.000
34.474.130
2010*
234.181.000
34.892.969
2011*
237.071.400
35.323.639
2015*
248.509.800
37.027.960
Sumber: BPS (diolah)
* Angka Prediksi/Forecast

Berdasarkan data diatas Kebutuhan/konsumsi beras di Indonesia cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2006 berjumlah 33.189.303 ton menjadi 34.474.130 ton pada tahun 2009, sementara diperkirakan menjadi 37.027.960 ton di tahun 2015. Pertumbuhan konsumsi beras sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang terjadi.
Berdasarkan asumsi tersebut maka dapat diketahui, apakah produksi padi yang tersedia di Indonesia mampu memenuhi kebutuhan masyarakat atau tidak. Apabila nilai produksi lebih besar daripada kebutuhan/konsumsi yang diperlukan maka akan terjadi surplus produksi padi, begitupula sebaliknya apabila nilai produksi lebih rendah daripada kebutuhan/konsumsi masyarakat maka terjadi kekurangan bahan pangan (beras). Berikut ini adalah perbandingan produksi dan konsumsi beras di Indonesia.
Tabel 3. Perbandingan Produksi Padi dan Konsumsi Beras Penduduk Indonesia
Tahun
Produksi Padi
Konsumsi Beras
Surplus
2006
54.455.000
33.189.303
21.265.697
2007
57.157.000
33.620.658
23.536.342
2008
60.326.000
34.049.927
26.276.073
2009
62.561.000
34.474.130
28.086.870
2010*
65.496.500
34.892.969
30.603.531
2011*
68.245.200
35.323.639
32.921.561
2015*
79.240.000
37.027.960
42.212.040
Sumber: BPS (diolah)
* Angka Prediksi/Forecast

Berdasarkan data dan asumsi di atas, maka sebenarnya Indonesia mengalami surplus produksi padi dari tahun ke tahun. Dengan perhitungan tersebut, seharusnya Indonesia tidak perlu melakukan impor beras. Hal ini senada dengan hitungan BPS, yang menyatakan bahwa Indonesia sebenarnya mengalami surplus beras. Deputi Bidang Statistik Produksi BPS Subagio Dwijosumono mempertanyakan perihal impor beras yang dilakukan oleh Bulog yang seharusnya tidak dilakukan karena adanya surplus tersebut.
Berbeda dengan sikap pemerintah yang mengambil keputusan untuk melakukan impor beras dengan alasan meredam kenaikan harga beras dan sebagai stok cadangan beras bulog. Keputusan impor beras  yang hanya didasarkan pada jumlah stok beras yang dikuasai oleh Bulog tentu masih kurang tepat, karena tidak memperhitungkan faktor-faktor lain, misalnya cadangan pangan yang dikuasai masyarakat, diversifikasi bahan pangan, serta kinerja Bulog sendiri dalam memenuhi prognosa pengadaan gabah/beras.
Kebijakan pemerintah idealnya lebih diprioritaskan dan dioptimalkan pada pengadaan beras di dalam negeri, terkait dengan perkiraan surplus beras di Indonesia (lihat tabel 3) maka pemerintah harus melakukan pendistribusian secara tepat dari beberapa daerah yang mengalami surplus pada daerah yang mengalami minus beras.

DAMPAK IMPOR BERAS BAGI INDONESIA
Pada akhir 2010, Pemerintah membuat kebijakan yang dipandang merugikan oleh banyak orang yaitu melakukan impor beras. Di Indonesia, kebijakan nasional dalam mengimpor beras merupakan salah satu kebijakan yang selalu menimbulkan kontroversi terutama pada kelompok masyarakat petani dan pengambil kebijakan ekonomi nasional maupun regional. Selain memutuskan untuk impor beras dengan alasan yang telah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan No. 241/PMK.011/2010 tertanggal 22 Desember 2010 yang menetapkan bea masuk impor terhadap beras, beras wangi, dan beras ketan adalah Rp 0/kg. Peraturan ini akan berlaku sejak dikeluarkan peraturan sampai Maret 2011 dan per 1 April 2011 akan menjadi Rp450/kg.
Penentuan tarif sebesar Rp. 0/kg tentu akan membawa dampak bagi pertanian di Indonesia. Sebagai ilustrasi mengenai dampak pembebasan bea masuk impor terhadap berasdapat digambarkan sebagai berikut:
Harga (Rp/Kg)
SX
DX
E
G
J
H
A
C
M
N
B
T
SF + T
SF
Volume (Kg)
0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
10
20
30
40
50
70
60
80
Gambar 2. Ilustrasi Dampak Pembebasan Bea Masuk Impor Beras






Sumber: Salvatore, 1997 (diolah kembali)
DX dan SX melambangkan kurva permintaan serta kurva penawaran komoditi beras di Indonesia. Dalam kondisi sebelum pembebasan bea masuk impor beras, harga komoditi beras Rp. 2.000/Kg. Namun, dalam kondisi pembebasan bea masuk impor beras, harga komoditi beras akan berubah menjadi Rp. 1.000/Kg. Dengan adanya pembebasan bea masuk impor beras, maka dampak yang dapat ditimbulkan adalah bagi konsumen hal ini menguntungkan dikarenakan harga akan lebih murah, sehingga konsumsi terhadap beras akan meningkat dari 50x (GH) menjadi 70x (AB). Sedangkan bagi produsen (petani) hal ini akan merugikan dikarenakan sebelum adanya pembebasan bea masuk produksi beras mampu terjual sebanyak 20x (GJ) turun menjadi 10x(AC). Sementara impor dari negara lain akan meningkat dari 30x (JH) menjadi 60x (AB).
Berdasarkan asumsi seperti gambar diatas, maka sungguh nasib petani sangat disengsarakan akibat kebijakan pemerintah. Pada saat produksi padi masih mengalami surplus, tetapi pemerintah justru mengeluarkan kebijakan pembebasan bea masuk impor beras yang dimaksudkan untuk meningkatkan impor beras sebagai persediaan stok pangan di Indonesia. Padahal jika dilihat bahwa mayoritas pekerjaan penduduk Indonesia adalah 43% sebagai petani. Hal ini tentu sebanyak 43% penduduk dirugikan akibat kebijakan tersebut.
Menurut Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) kebijakan pembebasan bea masuk impor akan mengakibatkan peningkatan pengangguran. Kalau impor 1,5 juta ton sama dengan 2,5 juta ton gabah kering giling, maka kalau produksi 5 ton per hektar sama dengan 500.000 hektar dan bila setiap satu hektar mengerjakan 10 orang, maka ada 5 juta man power yang hilang (Pengangguran).
Menurut wakil ketua HKTI, Rachmat mengatakan dalam kondisi harga beras yang naik saat ini seharusnya pemerintah memberikan kesempatan petani untuk menikmati kenaikan harga beras. Sehingga akan meningkatkan kesejahteraan petani. Langkah kementerian perdagangan termasuk menghapus bea masuk impor beras, melakukan operasi pasar sangat tidak menguntungkan petani. Jika memang kenaikan harga beras menyebabkan inflasi, seharusnya pemerintah menaikan pendapatan dan daya beli masyarakat.
Menurut analisis penulis, kebijakan ini berkaitan dengan teori pilihan  dengan pendekatan rasional yang berorientasi pada efisiensi. Efisiensi dalam ilmu ekonomi berarti bahwa kita dapat memperoleh utilitas tertinggi sesuai kendala yang dihadapi, dan dalam konsep efisiensi kolektif yang digunakan adalah pareto optimum. Jika sudah mencapai pareto optimum berarti bahwa aransemen yang ada sudah yang terbaik (Deliarnov, 2006).
Dengan demikian kebijakan impor sebenarnya merupakan keputusan yang dipandang secara biaya dan waktu adalah efisien. Namun, apakah ini menguntungkan bagi pertanian Indonesia? Tentu jawabannya tidak, kebijakan ini justru lebih menguntungkan pedagang dan pihak asing. kebijakan ini juga bertentangan dengan program utama pemerintah SBY yaitu salah satunya adalah pemberian bantuan kepada petani dan peningkatan produksi pangan. Secara jangka pendek kebijakan ini tepat untuk memenuhi kebutuhan pangan domestik, namun dalam jangka panjang kebijakan ini dapat menjadikan ketergantungan Indonesia terhadap asing.
Kebijakan pemerintah Indonesia idealnya diprioritaskan pada pengadaan atau pengoptimalan dari daerah sendiri. Bila luas panen beras mengalami penurunan, maka pemerintah harus segera melakukan sosialisasi atau kebijakan agar petani dalam meningkatkan produktivitas tanamannya beralih dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Meskipun hal ini membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama dalam menjalankan kebijakan ini, akan tetapi dalam jangka panjang tentu kebijakan ini lebih menguntungkan bagi pertanian dan kebutuhan pangan di Indonesia. Selain itu pengaturan distribusi beras juga perlu diperhatikan. Namun, bila pilihan ini tidak digunakan maka bukan tidak mungkin kedepannya Indonesia akan terus menerus ketergantungan terhadap impor beras dan secara perlahan pemerintah telah membuat kehidupan petani semakin sengsara.

PENUTUP
Kebijakan impor beras dengan pembebasan bea masuk impor beras (Peraturan Menteri Keuangan No. 241/PMK.011/2010) akan mampu menurunkan harga di pasar. Namun, akan menurunkan hasil produksi beras dalam negeri (petani domestik) yang dikonsumsi masyarakat. Hal ini tentu akan merugikan sekitar 43% penduduk Indonesia yang bekerja sebagai petani.
Salah satu program utama pemerintah saat ini yaitu berkaitan dengan ketahanan pangan, akan tetapi masalah dan tantangan yang  dihadapi Indonesia untuk mencapai status ketahanan pangan mantap cukup berat. Beberapa fakta empirik menunjukkan bahwa sejalan dengan transformasi ekonomi dari sektor pertanian ke non pertanian, tekanan terhadap pemanfaatan lahan pertanian semakin meningkat terutama karena semakin meningkatnya konversi lahan pertanian ke non pertanian, yang semua itu tentu akan mengancam eksistensi sektor pertanian dalam hal ketahanan pangan.
Berdasarkan kondisi seperti itu, pemerintah harus segera melakukan sosialisasi atau kebijakan agar petani dalam meningkatkan produktivitas tanamannya beralih dari pertanian tradisional menjadi pertanian modern. Meskipun hal ini membutuhkan biaya yang besar dan waktu yang lama dalam menjalankan kebijakan ini, akan tetapi dalam jangka panjang tentu kebijakan ini lebih menguntungkan bagi pertanian dan kebutuhan pangan di Indonesia serta tidak lagi ketergantungan terhadap asing akan tetapi justru produksi sektor pertanian Indonesia yang akan mampu menguasai secara internasional. Selain itu, permasalahan distribusi beras harus menjadi perhatian dikarenakan produksi padi masing-masing daerah berbeda-beda.









































DAFTAR PUSTAKA

A. Husni Malian. 2004. Kebijakan Perdagangan Internasional Komoditas Pertanian Indonesia, dalam AKP, Volume 2 No. 2: 135-156
Agus Suman. 2010. Ekonomika Politik dan Kesejahteraan. Surabaya: Putra Media Nusantara
Ahmad Erani Yustika. 2009. Ekonomi Politik Kajian Teoritis dan Analisis Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Arsyad, Lincolin. 1999. Ekonomi Pembangunan (Edisi Keempat), Yogyakarta: STIE-YKPN.
Badan Pusat Statistik. 2009. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial-Ekonomi Indonesia
Banjarmasinpost, Senin, 3 Januari 2011. BPS: Jangan Bergantung pada Impor Beras
Bustanul Arifin dan Rachbini. 2001. Ekonomi Politik dan Kebijakan Publik. Jakarta: Grasindo
Deliarnov. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga
Detik Finance, Senin, 17 Januari 2011. HKTI: Impor Beras 1,5 Juta Ton = 5 Juta Pengangguran Petani
Detik Finance, Senin, 17 Januari 2011. Surplus Beras, Kok RI Masih Impor?
Detik Finance, Rabu 19 Januari 2011. Nasib Petani Indonesia Sudah Sampai Taraf Sengsara.
Harianbhirawa, 12 Oktober 2010. Sektor Pertanian, Primadona Yang Terabaikan. 
Jawa Pos, Jum'at, 14 Januari 2011. Hindari Impor Beras, Target Produksi Dinaikkan
Kompas, Selasa, 18 Januari 2011. Pemerintah Bebaskan Bea Masuk Beras.
Media Indonesia, Senin, 17 Januari 2011. Penghapusan Bea Impor Beras Korbankan Petani
Mudrajad Kuncoro. (2003). Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. (2nd ed.). Yogyakarta: UPP AMP YKPN.

Peraturan Menteri Keuangan No. 241/PMK.011/2010 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK. 010/2006 tentang Penetapan Sistem Klasifikasi Barang dan Pembebanan Tarif Bea Masuk atas Barang Impor
Prajogo U. Hadi dan Budi Waryono. 2005. Dampak Kebijakan Proteksi terhadap Ekonomi Beras di Indonesia, dalam Jurnal Agro Ekonomi, Volume 23 No. 2: 159-175
Rima News, Rabu 15 Desember 2010. Impor Beras untuk Menjaga Stabilitas Pangan. Benarkah?
Sadono Sukirno. 2006. Ekonomi Pembangunan (Edisi Kedua). Kencana: Jakarta
Salvatore, 1997. Ekonomi Internasional, Edisi Kelima (diterjemahkan oleh Haris Munandar). Jakarta: Erlangga.
Suara Merdeka-CyberNews, Minggu, 16 Januari 2011. Dipertanyakan, Sikap Kekeuh Pemerintah dalam Impor Beras
Todaro, Michael, P., 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Ketujuh (diterjemahkan oleh Haris Munandar), Erlangga, Jakarta 
Tribun news, Senin 17 Januari 2011. Hatta Hargai Kritik Mega Soal Impor Beras

Tidak ada komentar:

Posting Komentar